Senin, 24 Maret 2014

[Review] Marriageable by Riri Sardjono

Marriageable

Judul: Marriageable
Penulis: Riri Sardjono
Tahun terbit: Cetakan 7, 2013
Penerbit: GagasMedia
Tebal: 368 halaman

Namaku Flory. Usia mendekati tiga puluh dua. Status? Tentu saja single! Karena itu Mamz memutuskan mencarikan Datuk Maringgi abad modern untukku.

"Kenapa, sih, gue jadi nggak normal cuma gara-gara gue belom kawin?!"

"Karena elo punya kantong rahim, Darling,” jawab Dina kalem. “Kantong rahim sama kayak susu Ultra. Mereka punya expired date."

"Yeah," sahutku sinis. "Sementara sperma kayak wine. Masih berlaku untuk jangka waktu yang lama."

Mamz pikir aku belum menikah karena nasibku yang buruk. Dan kalau beliau tidak segera bertindak, maka nasibku akan semakin memburuk. Tapi Mamz lupa bertanya apa alasanku hingga belum tergerak untuk melangkah ke arah sana.

Alasanku simple. Karena Mamz dan Papz bukan pasangan Huxtable. Mungkin jauh di dalam hatinya, mereka menyesali keputusannya untuk menikah. Atau paling tidak, menyesali pilihannya. Seperti Dina, sahabatku.

"Kenapa sih elo bisa kawin sama laki?!"

Dina tergelak mendengarnya. "Hormon, Darling! Kadang-kadang kerja hormon kayak telegram. Salah ketik waktu ngirim sinyal ke otak. Mestinya horny, dia ngetik cinta!"

See??

"Oh my God!" desah Kika ngeri. "Pernikahan adalah waktu yang terlalu lama untuk cinta!"

Yup!

That’s my reason, Darling
Halaman-halaman awal novel ini masih membuat saya penasaran. Well, meski tema besar yang diusung novel ini adalah perjodohan dan persahabatan, yang cukup mainstream diangkat menjadi sebuah novel, tapi tetap nggak bikin saya langsung nutup novel ini.

Flory, seorang wanita awal 30-an yang bekerja sebagai arsitek dan mempunyai 4 orang sahabat -salah satunya gay, berencana untuk dijodohkan dengan anak teman ibunya.  Cerita dimulai dengan Flory yang sedang memakai baju sambil menelpon Dina, salah satu sahabatnya, untuk berkonsultasi mengenai baju yang akan dipakai untuk bertemu calon 'jodoh'nya itu. Dan selanjutnya Flory akhirnya bertemu dengan Vadin, cowok yang akan dijodohkan dengan dia. Flory masih merasa ragu untuk menikah karena ternyata dia mempunyai masa lalu yang cukup menyakitkan, mantannya meninggalkannya begitu saja demi seorang Barbie. Dan Flory juga punya ketakutan akan menghadapi kehidupan pernikahan seperti Mamz dan Papz-nya.

Oke, saya masih cukup geli dengan panggilan 'Mamz' dan 'Papz' tersebut. Tapi ya ga apa-apalah, daripada manggil nama asli orang tua, kan? Novel ini bikin saya penasaran dan cukup menarik juga mengikuti pembicaraan geng cewek ini yang memanggil temannya dengan sebutan 'Darling'. Bosen juga, sih. Soalnya percakapan mereka ini lebih banyak porsinya dibanding hubungan Flory dan Vadin. Jadi, saya nge-skip di beberapa bagian dan kadang ada pembicaraan yang saya ga ngerti juga, sih. Meski demikian, dialog-dialog yang dilontarkan kadang bikin ngakak sampai pengen ngejengkang dan ada kalanya kita ngangguk-ngangguk setuju baca percakapang geng mereka itu.

Di tengah novel, saya mulai merasa bosan membaca tingkah laku Flory yang (menurut saya) ga PD dengan dirinya sendiri. Vadin sebenarnya sudah menjelaskan kalau dia dan mantannya, Nadya, ga ada apa-apa. Dan Vadin juga tahu kalau Nadya hobinya menarik perhatian cowok-cowok. Tapi tetep aja Flory merasa 'tersaingi' dengan Nadya. Sebel banget di situ. Puncaknya pas Flory dan Vadin ngomongin tentang rencana tahun baru. Rasanya pengan saya lempar Flory dengan kardus susu!

Setelah sebel-sebel baca tengah novel, untungnya ending yang disuguhkan dengan penulis membuat saya menjadi kembali menyukai novel ini. Apalagi kalau bukan saat di pesta tahun baru saat Vadin mengucapkan 'selamat tinggal' buat Flory. Rasanya di situ saya langsung tertawa sambil nyukurin Flory *oops*. Memang cewek seperti itu harus dikasih pelajaran dulu biar nyadar. Dan yang paling bikin ngakak adalah beberapa adegan setelah itu! Puas banget! Yang udah baca pasti tahu, kan, yang mana? *kedipkedip*

Bab terakhirnya sendiri ga terlalu suka, sih, karena ga nyeritain tentang Flory dan Vadin. Tapi ya sudahlah, dengan kejadian di parkiran pesta tahun baru aja udah bikin saya seneng. Hehehe :D

Stars: 3 of 5
Good job, Mbak Riri :)

Selasa, 18 Maret 2014

[Review] Pink Project by Retni SB

Pink Project

Judul: Pink Project
Penulis: Retni SB
Tahun terbit: 2009
Tebal: 264 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Puti Ranin berang sekali ketika Sangga Lazuardi menyerangnya di ruang publik, di koran. Sangga mengejeknya sebagai katak dalam tempurung yang mencoba berceloteh tentang dunia! karena berani memberi penilaian terhadap lukisan tanpa pengetahuan yang memadai.

Bah! Dia memang awam dalam soal seni, seni lukis khususnya, tapi apakah itu berarti dia tidak boleh mengapresiasi sebuah karya? Dan baginya, lukisan Pring menyentuh kalbunya. Sangga Lazuardi sangat pongah. Kesombongan lelaki itu membuat Puti mati-matian membela dan mengagumi Pring, pelukis yang dicela Sangga.

Namun yang tidak dimengertinya... Sangga Lazuardi selalu muncul dalam setiap langkah hidupnya.... Bagai siluman, Sangga selalu muncul di mana pun dirinya berada. Apa yang diinginkan lelaki yang telah menghinanya habis-habisan itu?
Haloooo! Sudah lama ga ngereview buku, jadi mari kita mulai lagi *geretekin jari*
Buku ini aku pinjam dari seorang teman baru, emang lagi nyari buku bacaan, sih, jadi apapun yang dikasih akan segera dilahap. Hihii :D dan emang penasaran, sih, sama tulisan Mbak Retni ini. Jadi memang kebetulan.
Kavernya eye catching banget! Pink! Sesuai judulnya. Bikin saya yang pecinta warna pink ini semakin penasaran sama bukunya :D
Soooo, pertama kali baca, saya sedikit heran. Ini tokohnya umur berapa tahun ya? Rasanya kok gaya penceritaannya kayak anak remaja (karena pake POV 1). Heboh-heboh gimana gitu. Eh, ternyata si tokoh (Puti Ranin) umurnya sekitar 27 tahunan. Yang bikin ga enak, ya karena gaya ceritanya mirip teenlit. Tapi kalau nggak merasa terganggu sama itu sih ga masalah. Saya sedikit terganggu tapi ga banyak, masih tetep bisa nikmatin ceritanya.
Para tokoh diceritain dengan sangat jelas. Bisa ngebayangin giman Sangga, Pring, Ina, Niko. Tapi yang masih belum kebayang, ya, Puti itu sendiri. Karena kan dia yang nyeritain. Saya suka dengan Imo, adiknya Puti. Kocak! Bawa angin segar di novel ini dengan tingkah lakunya yang ajaib.
Awalnya, saya kira Pring dan Sangga itu ternyata satu tokoh. Ternyata nggak, ya. Hehehe. Penasaran banget sama akhirnya. Inilah yang membuat saya ga bisa nyimpen buku ini lama-lama. Bawaannya pengen langsung baca aja sampai habis.

Dan saya sukses kepengen punya toko buku juga, sama kayak Puti dan Ina. AAAA! Lagi-lagi yang sukses bikin mupeng adalah setting di Yogya. Secara saya belum pernah ke Yogya, terus baca tentang Yogya di novel ini. Apalagi cerita tentang Puti yang dibawa Sangga ke desa untuk makan siang. Uuumm kayaknya seru banget. Dan satu pertanyaan saya, penginapan Puti di Yogya sana beneran ada ga ya? Jadi pengen nginep di sana, euy :D

Ada beberapa typo, sih, tapi ga terlalu kentara. Ada satu yang paling saya inget *lupa di halaman berapa karena ga bawa bukunya* saat itu harusnya mereka lagi ngomongin Pring, tapi penulis salah ketik dengan menuliskan nama 'Sangga'. Itu aja, sih.

Stars: 3,2 of 5